Kudengar Nada Yang Garing Hari Ini!

bungakeringSiang tadi aku kembali harus menelan lagi kebimbangan. Padahal, jujur saja, kebimbangan yang kemarin masih belum berhasil kujawab.
Tadinya, kupikir, aku akan dapat berbicara dari hati ke hati dengan Diajeng. Tetapi ternyata … Hhhh. Cuma perdebatan konyol saja adanya. Hampir 16 menit pulsaku mengalir sia-sia. Diajeng hanya berkata "tak tahu, tak tahu, dan mungkin".

Selalu begitu berulang-ulang. Aku jengkel, tentu saja! Apalagi waktu diajeng bilang – dengan nada suara pahit -, "Kangmas sebenarnya punya maksud apa sih padaku?"

Huk! Asal tahu saja. Kalimat tolol itu benar-benar telah membuatku terhentak kaget. Sesak dan sakit rasanya. Lebih dari 12 jam aku harus berusaha meredakan amarah yang bergolak di dalam sini. Perih. Pedih.

Sekarang malam sudah menjelang pagi, Minggu, pukul 01.24 WIB. Tulisan ini aku buat setelah aku berhasil mengendalikan diriku. Aku tak peduli jika tulisan ini akan menyayat perasaanmu. Sebab niat baikku sudah dicampakkan begitu saja seperti seonggok sampah! Bathinku mengeluh pilu.

Terus terang, aku sangat kecewa! Diajeng ternyata telah menafikan semua yang pernah terjadi di antara kita. Jadi, tak perlu rasanya, bila aku harus menyorongkan muka lagi dihadapanmu! Seburuk-buruknya aku, aku bukanlah seorang gelandangan. Aku masih punya harga diri!

Untuk satu hal, tadinya kupikir Diajeng memang dikirimkan Tuhan untuk menjadi Bunda dari anak-anakku. Apalagi Diajeng berkali-kali menyakinkan aku kalau niatnya adalah ibadah. Kini, apalagi yang bisa kuharapkan? Apa yang bisa kuimpikan?

Sejak dulu, aku paling tak suka bila ditelikung dari belakang, dalam soal apa pun. Aku bukan lelaki penakut, seperti yang kamu tanyakan. Berkali-kali aku telah katakan itu! Namun bila Diajeng sekarang memiliki persepsi demikian, aku selanjutnya terpaksa akan bersikap acuh tak acuh. Aku tak punya pilihan lain. Terserah apa pun anggapanmu. Aku cuma bisa mengikuti skenario keluargamu.

Mulai saat ini, aku akan hentikan langkahku! Aku tak akan mencari sebuah jalan untuk mewujudkan apa yang pernah kita angan-angankan. Aku akan diam! Diajeng boleh memaki dan mengutukku. Sekali lagi, terserah!

Sampai detik ini masih suka terngiang-ngiang ditelingaku, betapa tajamnya kalimat yang Ibumu ucapkan tempo hari. Tapi hal itu masih kuanggap wajar, karena aku memaklumi kekecewaan Beliau. Namun kalau kalimat bernada sama di ucapkan olehmu, maaf, aku tidak bisa mentolelirnya. Diajeng telah menorehkan luka.

Dan setelah aku melihat kenyataan dengan mata terbuka, jangan salahkan bila aku terjebak dalam keragu-raguan. Aku sudah berulang kali meminta penjelasan sikap darimu. Tapi rupanya Diajeng lebih suka menyekap keberanian semu itu.

Aku tak akan lari. Aku tetap bisa dihubungi, kapan pun Diajeng mau. Aku diam hanya untuk membela perasaanku. Sebab rasanya aku sudah tak mungkin kalau berharap banyak darimu. Apalagi Diajeng yang sekarang, bukanlah Diajengku yang dulu lagi.

Perbedaan di antara kita ibarat dua sisi mata uang. Sangat bertolak belakang. Semenjak awal aku telah memikirkan hal itu. Jika akhirnya – seperti yang Ibumu katakan -, Diajeng terpesona, jatuh cinta, dan memberikan kehormatannya padaku. Demi Allah, aku tak punya sedikit pun maksud terselubung. Diajenglah yang bisa menjawabnya.

Kemarin sempat terlintas di benakku, untuk mengirimkan seluruh copy transkrip dalam website ini kepada keluargamu. Tapi setelah kupikir lagi, niat itu kuurungkan. Tak ada untungnya buatku. Apa pun yang kulakukan saat ini tetaplah akan dianggap sebuah pembelaan dungu. Aku tak ingin memperkeruh kubangan lumpur ini …

brokenheartSekarang sudah jelas. Aku tak akan ke Malang dalam waktu dekat. Akan kulewati batas akhir yang keluargamu berikan dengan lapang dada. Aku sudah tak mampu bergulat dengan ketidak pastian. Apalagi keadaan hidupku beberapa hari terakhir ini semakin carut-marut tak keruan. Kalau saja aku berani menafikan dua pasang mata dari wajah tak berdosa yang kerap menyapaku "Ayah", barangkali tulisan ini tak akan pernah sampai dihadapanmu.

Aku tak tahu sampai kapan luka yang Diajeng torehkan akan terasa sakitnya. Aku sudah enggan berkalkulasi. Terutama yang berhubungan denganmu. Sebab Diajeng telah dengan entengnya membalikkan semua fakta. Padahal sejak kita pertama kali bertemu, aku sudah berjanji untuk tidak mempermainkanmu. Tetapi saat ini justeru sebaliknya. Aku tak menyangka sama sekali …

Kita mungkin memang ditakdirkan hanya untuk tiga kali bertemu. Tak apa. Kalau Allah ternyata punya rencana lain, aku hanya memohon, bahwa pertemuan berikutnya adalah pertemuan yang memberikan rasa nyaman dihati siapapun.

Diajeng dalam waktu sangat singkat mungkin akan bertemu dengan "kangmas" baru, yang tentu saja tanpa cela. Karena sudah disortir secara seksama terlebih dahulu, dan bukan ditemukan dari sebuah keranjang sampah. Aku hanya dapat berdoa, semoga "kangmasmu" itu bukanlah "manusia berhati boneka". Bukan laki-laki yang cuma bisa mengangguk-angguk patuh dan tak pernah peduli perasaan pasangannya. Demikian pun sebaliknya. Aku pernah bilang padamu, bahwa aku tak mau jika "isteriku adalah anak mami".

Hm. Masih perlukah dibeberkan betapa kecewanya aku? Yang jelas, terlampau panjang kalau harus dijabarkan lewat kata-kata. Aku akan coba menikmati rasa sakit ini seorang diri. Dan, aku bersumpah! Tak akan kuulangi percintaan seperti ini, walau secantik dan sekaya apapun pasanganku nantinya.

Kangmasmu.

Hiruplah Kehidupan Barumu …

Jakarta, Minggu Pagi, 5.10 WIB, 23 Maret 2003

Tinggalkan komentar